Takuyo Ito
Oleh: Cheri Tarnad Prodigio
Kampus terlihat sepi, tak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Aku datang memulai semester begitu bersemangat sampai-sampai lupa waktu. Udara pagi masih menusuk-nusuk lewat kemeja cokelat yang kugunakan. Angin menggoyangkan pepohonan sehingga daunnya berguguran. Menyebalkan sekali rasanya menunggu terlalu lama.
Tanpa sengaja aku menoleh ke arah rektorat dan melihat sosok yang membawaku pada masa-masa SMA. Dulu aku berteman dekat dengan siswa pertukaran pelajar dari Jepang. Namanya Takuyo Ito. Takuyo tipe orang yang menurutku sangat aneh. Ia tidak suka datang ke pesta-pesta walaupun hanya ulang tahun. Ia menghabiskan waktunya di sungai dekat jembatan antar daerah untuk memancing dan membaca buku.
Awalnya aku mengira ia menderita minus karena selalu menggunakan kacamata. Mungkin terlalu banyak buku yang dibacanya. Ternyata salah besar, ia hanya melindungi matanya dari debu. Dan ia sama sekali tidak minus. Benar-benar aneh.
Pernah aku mengunjunginya seharian ketika hari libur. Aku mengikuti aktivitas rutinnya karena selama ini aku selalu penasaran apa yang selalu dilakukannya sehingga tampak sibuk. Pagi-pagi kami berlari di sekitar komplek sampai benar-benar berkeringat. Bersama-sama mengonsumsi jus wortel yang setiap hari ia minum. Rasanya aku mau muntah. Sebagai tuan rumah yang baik ia menyediakan sarapan. Di luar dugaan, yang tersedia di meja hanya susu, roti, selada dan buah-buahan. Aku tidak mendapati nasi sebiji pun.
Setelah berbenah membersihkan rumah kontrakan, kami ke sungai tempat yang biasa Takuyo datangi. Di tepi sungai yang terjal dan mudah longsor kami duduk beralaskan tikar rumput basah. Maklum semalaman hujan mengguyur bumi. Aku juga membawa pancingan ikan sendiri. Sebelumnya aku belum pernah menggunakan alat berkail tajam itu.
“Aughh…” Mata kail itu menusuk jempolku saat hendak memasang umpan.
“Hati-hati dong? Sini biar aku lepaskan.” Takuyo tanpa segan-segan menghisap darah yang lumayan banyak itu dan membuangnya ke sungai.
“Arigato gozaimasu ka.” Ujarku sok kejepang-jepangan. Ia hanya mengangguk sambil memasangkan umpan untukku. Ia pula yang mengajari melempar kail dan menariknya.
Beberapa menit Takuyo telah mendapatkan seekor ikan kepuyu besar. Tiga jam kami lewati ia tengah mengumpulkan sebakul besar ikan-ikan sungai. Ada kepuyu, mujair, pait, sepat dan nila sungai. Jangan ditanya, satupun aku belum berkontribusi ke dalam bakul itu. Takuyo tidak bosan-bosannya memasang umpan untukku ketika habis.
Matahari mulai meninggi, musik keroncong dalam perut tengah beraksi. Aku sudah meringis-ringis keperihan. Takuyo menyalahkan aku yang tidak sarapan tadi. Ia mengajakku mengakhiri perjuangan mendapatkan seekor ikan. Ikan besar yang bisa dibakar nantinya.
Kailku terasa sangat berat sampai-sampai tidak mampu terangkat. Setelah menghimpun cukup tenaga aku menariknya dengan kuat. Ikan besar dan panjang itu langsung menabrak tubuhku sendiri. Aku terkejut dan takut segera berlari menuju Takuyo memohon perlindungan. Ia mendekapku sambil tertawa. Aku masih takut melihat ikan itu dan enggan mendongakkan kepala yang berada dibalik dada Takuyo. Ternyata seekor gabus besar yang kukira ular. Aku jadi urung memakannya.
“Warga akan senang melihat pancinganmu, Dit.”
“Apa maksudmu?”
“Kita akan membagikan ini ke warga sepanjang sungai.”
“Apa?”
“Kamu mau memakannya?” Ledek Takuyo sambil menjulurkan ikan gabus itu ke arahku. Aku menghindar dan mengikutinya dari belakang sambil mencengkeram bajunya.
Aku baru tahu kalau selama ini pancingan Takuyo selalu dibagikan pada warga. Tadinya aku pikir kami bisa menikmati pancingan itu. Membakarnya di bawah pohon ketapang dan akasia. Melihat Takuyo datang anak-anak langsung mengerumuninya. Kuakui jika Takuyo jago memancing. Seorang anak tiba-tiba mendekat padaku. Pakaiannnya penuh debu dan kedodoran.
“Terima kasih ya kak, ikannya.”
“Aa…!” Anak itu memperlihatkan ikan pancinganku lagi. Bersamaan dengan itu aku menarik baju Takuyo. Kami kehilangan keseimbangan dan jatuh terhempas ke sungai.
“Takuyo…ngeh…ngeh aku gak bisa berenang!”
Dengan sigap ia menggapai tubuhku dan menggapit sampai tepi. Aku merasa sangat tidak enak. Setengah harinya menjadi kacau gara-gara aku. Anehnya ia tidak pernah marah padaku.
Setiba di rumahnya. Aku membersihkan diri dan mengenakan baju kaosnya. Sedang ia membuka sebuah kotak dan mengeluarkan benda kecil yang unik, biola. Alat musik yang sangat ingin kukuasai itu tengah dimainkan Takuyo penuh penghayatan. Ia harus merekamnya untuk dikirim ke Jepang secepatnya.
Berhari-hari aku melewati waktu bersama Takuyo. Aku mahir memancing dan bisa memainkan biola. Aku diajari bersepeda dan balapan dengannya. Aku juga sudah terbiasa mengonsumsi makanan aneh Takuyo. Kami selalu melakukan sesuatu bersama-sama termasuk tugas dan belajar kelompok. Teman-teman menganggap kami pacaran, pedahal aku sangat anti dengan pacaran.
Waktu pertukaran pelajar habis. Aku harus rela berpisah dengan teman sebaik Takuyo. Aku mengantarkannya sampai bandara. Ia meninggalkan biola kesayangannya untukku. Tiga hari kulewati berikutnya terasa hampa. Kini kusadari jika aku sangat membutuhkan Takuyo. Seandainya ia masih ada sampai hari kasih sayang aku mengharap sepotong cokelat darinya.
Sebelum terlambat tepat menjelang hari kasih sayang itu aku mengirim e-mail pada Takuyo. Aku mengatakan betapa aku merindukannya dan menyayanginya. Aku berharap di hari itu ia mau menerimaku. Tapi, bagai galaksi meledak di hatiku menghancurkan semua rasa indah ketika menerima balasannya.
Aku tidak pernah menduga kamu begitu menghargai hari kasih sayang yang jelas-jelas tidak memberi manfaat. Aku sangat kecewa Dit. Aku sangat membenci hari itu karena hanya mengajarkan pada generasi muda untuk bermalas-malasan. Kenapa setelah sekian lama, kamu menghubungiku ketika hari itu? Mungkin aku salah memilihmu Dit.
“Dit…Ditrola! Ditrola Putri! Ayo masuk!” Teriak Conza.
Matahari naik sepenggalan, dan aku masih terpaku di bangku depan jurusan. Conza menarik tas ransel dari tanganku dengan keras. Aku melonjak kaget segera menyusulnya. Hari ini dosen yang terkenal killer-nya akan masuk. Aku langsung berlari melewati beberapa mahasiswa yang juga tergesa-gesa. Tiba-tiba aku jatuh menabrak seseorang.
“Dit…Ditrola!” Teriak orang yang membantuku bangkit.
Aku menyempatkan untuk menengok sekilas melihat orang tersebut karena baru kusadari suara itu sangat kukenal. Dan Takuyo…Kaukah itu? Maafkan aku. Aku tidak mengindahkannya terus berlari mengejar waktu. Jika telat bisa-bisa tidak dimasukkan. Dan image awal yang buruk merupakan sesuatu yang merusak karirku. Oh tidak…
Disaat aku mengerti sebuah arti
7 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar